Setelah mengajukan permohonan izin darurat vaksin (Emergency Use Authorization/EUA) pada 4 Februari 2021 lalu, Johnson & Johnson (J&J) mengikuti pendahulunya untuk menjadi salah satu dari deretan vaksin COVID-19 yang dapat digunakan dunia, seperti Pfizer-BioNTech, Moderna, Oxford-AstraZeneca, Sinovac, dan lain-lain.
Tidak seperti Pfizer dan Moderna yang membutuhkan 2 dosis pemakaian di antara rentang waktu 3 – 4 minggu, vaksin J&J hanya membutuhkan 1 dosis vaksin dengan efikasi 66%.
Walaupun nilai efikasi lebih rendah dibandingkan Pfizer dan Moderna yang bernilai 95% dan 94%, penggunaan 1 dosis vaksin akan mempermudah proses distribusi dan penyimpanan vaksin yang selama ini menjadi salah satu kendala dalam proses vaksinasi.
Dr. Anthony Fauci, ahli penyakit menular di Amerika Serikat, seperti yang dikutip dari laman media massa Amerika, menyebutkan bahwa vaksin J&J dapat mencegah kondisi pasien COVID-19 semakin memburuk hingga 85%, namun tingkat efikasinya 66%.
Lalu pertanyaannya adalah, apa yang dimaksud dengan efikasi vaksin dan apa yang kita dapatkan dari vaksin?
Setelah melalui proses riset dan pengembangan yang panjang, beberapa vaksin di dunia berburu izin darurat vaksin dari masing – masing Food and Drug Administration (FDA) atau BPOM masing – masing negara, sebagai salah satu syarat keamanan dan keefektifan vaksin.
WHO telah menyaratkan bahwa vaksin yang diedarkan harus memiliki nilai efikasi minimal 50%. Sinovac, sebagai salah satu vaksin yang Indonesia gunakan memiliki nilai efikasi 65,3% yang berarti bahwa setiap orang yang disuntik vaksin Sinovac akan lebih rendah kemungkinan kejadian penyakit hingga 65,3%.
Terdapat 2 tipe imunitas yang bisa dicapai melalui vaksin, yakni effective immunity dan sterilizing immunity. Sederhananya, beberapa vaksin akan membantu anda menghindari gejala penyakit yang memburuk (effective immunity), beberapa vaksin lainnya akan membantu anda terbebas dari virus (sterilizing immunity).
Sampai saat ini, para ahli belum dapat memastikan tipe imunitas mana yang diberikan oleh vaksin Covid-19. Masih dibutuhkan riset mendalam untuk menyimpulkannya. Namun Seperti J&J, vaksin Covid-19 lainnya yang telah mendapat izin EUA diklaim akan meningkatkan imunitas tubuh untuk membantu mencegah keadaan pasien semakin memburuk dan dapat berujung pada kematian.
Kemampuan untuk mencegah keadaan pasien semakin memburuk merupakan tolak ukur penilaian efikasi vaksin, menurut Danny Altmann, profesor imunologi di Imperial College London.
Sepintas, vaksin Covid-19 dengan nilai efikasinya merujuk pada effective immunity daripada sterilizing immunity. Bahkan, hingga saat ini tidak ada bukti yang menyebutkan bahwa vaksin Covid-19 yang beredar dapat mencegah seseorang terpapar virus SARS-CoV-2.
Klaim yang disampaikan para produsen vaksin adalah jaminan bahwa keadaan partisan yang disuntik vaksin tidak semakin memburuk jika terpapar virus.
Dengan kata lain, partisan yang telah disuntik vaksin masih memiliki peluang untuk terpapar virus SARS-CoV-2 dan juga masih berpeluang untuk menyebarkan virus tersebut kepada orang lain.
Namun, Keith Neal, profesor epidemiologi di University of Nottingham menyebutkan sebuah teori, bahwa semakin sedikit gejala atau rasa sakit yang dirasakan pasien, semakin sedikit virus yang ada di tubuhnya, dan semakin kecil kemungkinan penularan virus tersebut.
Dengan memahami konsep vaksinasi dan vaksin itu sendiri, kita dapat mengetahui seberapa besar keuntungan yang ditawarkan oleh vaksin dan seberapa jauh kita dapat menyikapi kelemahannya.
WHO dalam beberapa kesempatan selalu menyebutkan bahwa vaksin tidak semerta-merta dapat mengakhiri pandemi ini. Bahkan disebutkan pula kemungkinan bahwa virus SARS-CoV-2 berpotensi tidak akan pernah hilang.
Dengan memperhatikan perkembangan vaksin Covid-19 sampai saat ini, pernyataan WHO tersebut terbukti benar. Karena vaksin belum terbukti dapat menghentikan penyebaran, apalagi untuk menghilangkan virus tersebut dari muka bumi ini.
Altmann juga mengatakan bahwa masih sulit untuk menyimpulkan apakah penyebaran dapat dikurangi atau bahkan dihentikan karena vaksin. Selain karena belum terdapat bukti, juga karena lockdown diberlakukan. Sehingga para ahli belum mampu memutuskan, penyebaran virus terhenti karena lockdown atau karena vaksin.
Walaupun begitu, dalam situasi krisis saat ini, vaksin tetaplah jalan utama untuk keluar dari pekatnya pandemi yang telah bergulir lebih dari setahun ini. Virus mungkin tidak akan hilang, tapi imun kita dapat ditingkatkan.
Jika para ahli masih mencari cara untuk menghentikan penyebaran virus, atau bahkan menghilangkan virus, secara paralel kita dapat meningkatkan imunitas tubuh dengan mengikuti program vaksinasi yang dijalankan. Tidak untuk menghentikan penyebaran, tapi untuk menyelamatkan nyawa dari gejala yang memburuk.